Kebakaran hutan yang berulang setiap tahun menunjukkan bahwa pemerintah gagal dalam memerankan fungsi melakukan pengawasan terhadap sumber-sumber daya alam di Indonesia. Dalam catatan WALHI yang diperoleh dari satelit Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa 2006 : 146.264 titik api, 2007 : 37.909 titik api, 2008 : 30.616, titik api 2009 : 29.463 titik api, 2010 : 9.898, titik api 2011 : 11.379 titik api.
Sedangkan penghitungan WALHI tahun 2011 terdapat 22.456 titik api dan Tahun 2012 sampai dengan bulan agustus 5.627 titik api tersebar dibeberapa propinsi di Indonesia, wilayah sebaran titik api tersebut hampir sama tiap tahunnya yaitu di Propinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengan dan Kalimantan Timur disamping beberapa propinsi lain di Sumatera dan Sulawesi.Kebakaran hutan terjadi setiap tahun tetapi tidak ada upaya serius pemerintah dalam menaggulangi dan mengantisipasi kebakaran tersebut. Menurut Muhnur Satyahaprabu Manager Kebijakan Dan Pembelaan Hukum Eksekutif Nasional WALHI mengatakan “negara telah sengaja melakukan kejahatan Hak Asasi Manusia, dengan tetap membiarkan dan sangat lamban menanggulangi kebaran hutan ini menjadikan ribuan warga negara terlanggar hak atas lingkungan hidupnya”.
Lemahnya penegakan hukum lingkungan menjadi salah satu sebab mengapa kebakaran terus terulang setiap tahunnya. “Kepolisian dan kementrian sektoral harusnya tegas terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup ini. Kebakaran hutan jelas merusak dan mencemari lingkungan tetapi siapa yang diseret ke pengadilan seharusnya bukan saja perseorangan tetapi korporasi sebagai penerima manfaat dan mungkin juga sebagai pelaku sebenarnya harus juga bisa di proses secara hukum” tambah Muhnur Satyahaprabu.
Eksekutif Nasional WALHI mencatat Kebakaran hutan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pola kebijakan peruntukan lahan dan hutan di Indonesia, sejak rezim HPH dimulai dan bergeser ke sector perkebunan, HTI dan tambang, wilayah hutan hujan tropis Indonesia mengalami degradasi menjadi lahan kritis dan hutan sekunder. Kebakaran rutin hutan satu decade ini tidak saja dikarenakan perubahan mata rantai ekologis, tetapi juga dipengaruhi oleh unsure kesengajaan pelaku usaha perkebunan skala besar dalam pembukaan lahan, dan kelalaian pelaku usaha industry Pulp and paper dalam menjalankan tata kelola produksi dan lingkungan. Bencana ekologis yang tidak terkendali pasti berasal dari proses pengeluaran izin penguasaan wilayah tidak terkendali.
Menambahkan, Rico Kurniawan Direktur Eksekutif Daerah WALHI Riau menyatakan “bahwa dari 300an titik api yang terjadi di Riau tahun ini justru dari wilayah konsesi HTI dan wilayah perkebunan, ini menunjukan bahwa proses pengeluaran izin tidak berdasarkan kajian yang memadai dan kalaupun mempunyai kajian lingkungan, penerapan kaidah lingkungan dalam praktek Industri HTI dan Perkebunanmasih jauh dari sikap bertanggung jawab”.
Demi kepentingan hukum dan hak atas lingkungan hidup yang sehat menyampaikan Somasinya ke Presiden Republik Indonesia, ke tiga kementrian (kemen LH, kemen-Hut, kementan) tiga gubernur (Riau, jambi dan Sumatera Selatan) dan Kepala kepolisian Republik Indonesia dalam waktu 7 (tujuh) hari untuk segera: Pertama, mengeluarkan kebijakan guna melindungi warga negara yang saat ini berada dalam ancaman udara yang melebihi ambang batas kesehatan. Kedua, Melakukan pencegahan serta penanggulangan secara cepat atas peristiwa kebakaran hutan di sejumlah Pulau di Indonesia. Ketiga, Melakukan evaluasi terhadap semua izin konsesi baik perkebunan maupun Hutan Tanaman Industri. Keempat, Melakukan penegakan hukum termasuk menangkap pelaku-pelaku perseorangan maupun korporasi yang bertanggung jawab atas wilayah konsesinya.
Sumber : http://walhi.or.id
No comments:
Post a Comment